Beberapa indikator kesuksesan sebuah gerakan
adalah mampu menghasilkan tunas-tunas baru yang lebih baik dari pendahulunya,
dan juga keberlanjutan. Setiap daun yang gugur ke bumi tak pernah menyalahkan
angin. Karena ia tahu, pupus-pupus baru akan tumbuh menyertainya. Namun,
bagaimana dengan keberlanjutan?
Sejujurnya, sampai saat ini, saya masih
berusaha mencari maknanya. Kebanyakan, sebuah generasi akan mengklaim bahwa
mereka adalah yang terbaik. Menganggap generasi pendahulunya kurang optimal di
berbagai bidang, sehingga memicu semangat mereka untuk bergerak, membuat
perubahan. Begitu pula generasi selanjutnya. Mereka akan menganggap generasi
pendahulunya demikian.
Ini bukanlah hal buruk. Semangat perubahan itu
sangat diperlukan untuk membuat karya baru. Namun, satu hal yang sering
terlupakan dalam semangat perubahan itu adalah keberlanjutan. Padahal,
keberlanjutan belum tentu melanjutkan sesuatu yang benar-benar sama persis.
Menjadi Pengajar Muda di Indonesia Mengajar
memberiku pemahaman tentang banyak hal. Salah satunya tentang keberlanjutan itu
sendiri. Saya tidak akan membicarakan hal besar di level nasional, tidak pula
level daerah. Saya cukup belajar dari hal-hal kecil di desa penempatan saya,
Talang Airguci, Desa Sugihan, Kecamatan Rambang, Kabupaten Muara Enim. Sebuah
pemukiman kecil di pedalaman hutan Sumatera Selatan.
Ketika masih mahasiswa, saya cukup mengamini quotes
dari Bill Gould, School never teach us how to think, They only teach us what
to think. Saya merasakannya sendiri. Oleh sebab itu, sejak saya tergabung
menjadi pengajar muda, salah satu misi saya untuk visi keberlanjutan adalah School
should teach us how to think, not only what to think. Kata kuncinya adalah
Kreativitas.
Kreativitas bagi saya adalah pelajaran abstrak
yang tidak saya dapatkan ketika masih sekolah. Saya benar-benar merasakan
manfaatnya ketika kuliah di kampus desain. Setiap hari dituntut untuk
menyelaraskan otak kiri dan kanan. Ketika seorang anak hanya belajar apa yang
harus dipelajarinya, secara tidak langsung dia sudah membuat sekat pada
mindsetnya.
Coba kita bedakan dua kalimat ; anak-anak hanya
melakukan sesuatu yang diinstruksikan. Dan kedua, anak-anak melakukan segala
sesuatu, semuanya, kecuali yang dilarang.
Kalimat kedua akan membentuk karakter seorang anak yang kreatif. Dia
akan mencari setiap pemecahan masalah dari dirinya sendiri. Dan saya mencoba
melakukan eksperimen itu kepada mereka.
Ya, sebenarnya saya melakukannya juga bukan
tanpa alasan. Seringkali mengajar sendirian di sekolah membuat saya memutar
otak bagaimana supaya anak-anak didik saya dapat belajar dengan mandiri, dari
dalam dirinya sendiri. Tidak melulu tergantung dari kehadiran guru. Saya sadar,
kehadiran sosok guru yang mampu membimbing itu mutlak diperlukan untuk siswa
SD. Sayangnya, keadaan di pedalaman hutan tidak seideal yang saya bayangkan.
Banyak hal yang saya coba biasakan adalah
membuat jurnal rahasia setiap pagi. Isinya sederhana, apapun yang ada di
fikiran mereka. Menceritakan aktivitas keseharian, mimpi-mimpi, sampai
imajinasi yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Saya juga mencoba
membiasakan anak didik untuk membaca dengan mandiri. Selain itu, membiasakan
mereka menjadi asisten guru juga sangat membantu, baik tugas saya sebagai guru,
maupun perkembangan dalam pembelajaran mereka. Alhasil, walaupun di sekolah
harus mengajar kelas rangkap, biasanya hanya ada seorang guru dan saya, tenaga
kerja sukarela, kami dapat memegang anak-anak karena terbiasa untuk positif
disiplin.
Selain perkembangan yang mengembirakan dari
anak didik, saya juga melihat perubahan entitas warga terhadap pendidikan.
Contoh kecil adalah mendukung motivasi anak-anak mereka yang ingin menlanjutkan
sekolah ke jenjang menengah. Walaupun siswa-siswi SMP dan SMA di Airguci masih
dapat dihitung dengan jari, itu jauh lebih baik daripada tidak ada sama sekali.
Masyarakat juga mulai terbiasa untuk terbuka
terhadap pendatang. Setahun terakhir, cukup banyak para relawan yang berbagi
inspirasi ke Talang kami. Sebut saja Rumah Zakat Indonesia, Ikatan Dai
Indonesia (IKADI) Kab. Muara Enim, Relawan Peduli Pendidikan (RPP) Palembang,
Penyala Palembang, Save Street Child (SSC), Forum Indonesia Muda (FIM) Musi,
dll beberapa instansi seperti MEDCO, PGN, Pertamina juga tidak absen. Bahkan,
istri Bupati Muara Enim pun menyempatkan diri berkunjung ke tempat kami di
pedalaman hutan.
Indonesia Mengajar sudah memasuki tahun kelima.
Itu artinya, tahun ini adalah tahun terakhir di tempat saya. Salah satu visi di
tahun kelima adalah keberlanjutan. Dan, sampai sekarang pun saya belum
menemukan maknanya. Saya menyadari, estafet ini harus segera berpindah tangan.
Bisa jadi, saya merasa belum melakukan hal-hal besar yang berarti. Namun, saya
berharap hal-hal kecil setahun ini bermanfaat bagi mereka, warga desa.
Bagi saya, keberlanjutan itu cukup melihat
senyum anak-anak didik saya semangat belajar. Ketika mereka mampu belajar
mandiri dari motivasi internal. Syukur-syukur mereka dapat melanjutkan sekolah
ke jenjang yang lebih tinggi, suatu hari nanti. Keberlanjutan juga cukup
melihat warga desa saya yang sudah mulai terbuka dan peduli pendidikan
anak-anaknya. Menerima dengan tangan terbuka para relawan yang ingin berbagi,
serta mandiri dalam hal motivasi. Tidak muluk, tapi berisi.
School should teach us how to think, not
only what to think
(Hanif Azhar)
dipublish di situs https://indonesiamengajar.org/cerita-pm/hanif-13/keberlanjutan
GREAT mas..
ReplyDeletefabulous..
Extrem.
digimon.
pokemon. dkk