“Bak, aku ngan Pak Ef hendak ke Sunor,
nyakahi Doni,” (Ayah, saya dan Pak Efriansyah akan pergi ke Sunor, untuk
mencari Doni) ijinku kepada Bapak angkat saya.
“Pedengan jadi pule hendak nyakahi
budak itu? La tau belum humehnye?” (Kalian jadi mencari anak itu? Apakah
kalian sudah mengetahui alamatnya?) Jawabnya tegas.
“Belum tau, Bak. Mangke itulah, kami
hendak nyakahi Doni,” (Belum tahu yah. Oleh sebab itu, kami akan
mencarinya) jawabku bersemangat.
“Oi, dekde tau alamatnye, mak mane
pedengan hendak nyakah? La udem nilpon keluarganye disana belum?” (Kalau tidak punya alamatnya, bagaimana kalian mencarinya? Sudah
menghubungi keluarganya di sana?) Ia bertanya balik.
“Belum nilpon pule Bak. Kami bae dekde
punya nomornya. Mangke itulah, kami hendak nyakahi,” (Kami belum menelponnya yah. Nomor telpon saja kami tidak punya.
Makanya kamu harus mencarinya) Jawabku lagi dengan penuh percaya diri.
“Kalu belum jelas, alangkah iloknya
kakgi bae. Daripada pedengan sare nian nyakahi budak itu, tapi katek uhangnya.
La keluar biaya, dekde dapat apa-apa pule,” (Kalau belum jelas, lebih baik
ditunda dulu. Daripada kalian susah-susah mencarinya, tapi tidak mendapatkan
apa-apa. Sudah lelah, keluar banyak biaya juga) Jelasnya lagi.
“Insyaallah kakgi kami hendak dibantu
mamangnya di duson, nyakahi ke sana. Semoga usaha kami la ade pule hasilnye,”
(Insyaallah nanti kami dibantu pamannya di dusun untuk mencarinya. Semoga
berhasil) Ujarku dengan optimis.
Siang
itu terjadi perdebatan serius antara saya dan ayah angkat saya di penempatan
mengajar. Saya tahu, Pak Andi, ayah angkat saya, sangat peduli dengan
keselamatan saya. Ia sekeluarga memang menghindari untuk terlibat dalam urusan
rumah tangga orang lain, apalagi keluarga Doni Iskandar yang cukup rumit. Ia tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan terhadap saya dan Pak Efriansyah, anak sulungnya.
Doni
Iskandar adalah salah satu anak didik saya di SD Negeri 10 Rambang kelas jauh
yang berbakat, baik di bidang akademis maupun non-akademis. Dia selalu mendapat
peringkat tiga besar di kelasnya. Ia juga sempat beberapa kali mewakili sekolah
dalam lombah cerdas cermat di Universitas Sriwijaya, Palembang, serta menjadi
semifinalis dalam Olimpiade Sains Kuark (OSK) perwakilan Kabupaten Muara Enim,
2013. Selain itu, goresan jarinya juga sangat lincah dalam melukiskan apa yang
di lihatnya. Luar biasa.
Namun,
dua tahun lalu, ia menghilang begitu saja. Menurut mamangnya (paman,
red), ia di bawa oleh kakeknya ketika hari libur. Kemudian, ia diajak nakok
(menyadap karet, red) oleh ayah tirinya yang selama ini menghilang. Ayah
kandung Doni meninggal ketika ia masih bayi, dan ibunya menyusul ke syurga
ketika melahirkan adiknya. Saat itu ia baru berumur lima tahun. Di usia sedini
itu, ia dituntut untuk hidup mandiri. Mengasuh adik bayinya dan membantu
pamannya bekerja, menyadap karet.
Sejujurnya,
saya pribadi sama sekali tidak mengenalnya. Saya hanya mengetahui dia dari
rekaman video Lentera Indonesia Pengajar Muda IV pendahulu saya, Trisa Melati
[1]. Saya juga tidak tahu bagaimana awal ceritanya saya mempunyai ide gila
untuk mem-blow up kisahnya kepada stakeholders daerah yang berkepentangan
untuk mencari dukungan dalam menemukan dan meyelamatkan masa depannya. Saya
hanya mencoba untuk berbuat semampu saya selama saya di sini. Bisa jadi bagi
saya ini hanya sesuatu yang sederhana. Tapi bagi Doni, dapat merubah masa
depannya. Semoga.
***
Berbekal
informasi yang pas-pasan, saya dan Pak Efriansyah[2] nekat berangkat mencari
Doni. Ditemani dua pamannya, kami menyusuri hutan dan kebun karet lebih dari
tiga jam. Ternyata, info awal yang kami dapatkan itu salah. Doni sekarang tidak
lagi tinggal di Sunor, tapi di sebuah humeh di dalam pedalaman hutan, dekat
dengan Dusun 2R, Pagardewa, Kecamatan Lubai. Tempat ini sudah berbatasan dengan
Kota Baturaja, OKU.
Perjalanan
jauh dan melelahkan akhirnya terbayar ketika kami sampai di sebuah humeh
mungil yang hampir rubuh. Humeh adalah kebun yang sangat luas dengan
sebuah gubuk kecil sebagai tempat tinggal pekebunnya. Biasanya, terdapat satu
sampai tiga gubuk. Salah satunya dipakai sebagai gudang penyimpanan karet.
Tidak
ada seorangpun di dalam gubuk itu. “Kalu Doni ada di humeh ayuknya, parak
sinilah” (mungkin Doni ada di rumah kakak perempuannya, di dekat sini) ujar
pamannya. Kebetulan humeh ayah tiri Doni berdekatan dengan kakak perempuannya.
Hanya berjarak kurang lebih 200 meter. Di tengah perjalanan, kami melewati
sungai kecil. Kami bertemu dengan laki-laki separuh baya sedang mandi telanjang
di sana. Tubuhnya sangat tidak terawat, dengan rambut gondrong acak-acakan.
Saya taksir umurnya sudah di atas 40 tahunan.
“Dengan
maseh tekenang aku dekde?” (Kamu masih ingat saya?) ujar pamannya. “Oi,
aku ini mamang Doni,” (Saya paman Doni) tambahnya. “Doni katek dekde?”
(Doni ada atau tidak?) tanyanya lagi. Sambil mencoba mengingat, ia mengarahkan
jari telunjuknya ke arah hulu sungai. Kami pun bergegas menuju ke sana. “uhang
tadi itulah bapangnya Doni, Pak,” (Orang itu adalah Ayah tiri Doni, Pak) kata
mereka kepadaku.
Saya
masih berfikir membayangkan bagaimana seorang anak hidup sendirian di dalam
hutan bersama ayahnya yang kata orang agak sedikit terganggu jiwanya. Bulu saya
berdiri, merinding membayangkannya. Kemudian, di depan saya terlihat sebuah
hulu sungai yang hampir kering airnya. Kami melihat seorang pemuda berada di
sana, membawa sebuah jaring seperti raket, mencari ikan. Saya tidak asing
dengan wajahnya, sama seperti di video Lentera Indonesia yang saya lihat. Hanya
saja, ukuran tubuhnya yang berbeda. Selama dua tahun menghilang, ia sudah
tumbuh menjadi pemuda yang gagah.
“Dengan
la maseh tekenang ngan Bapak dekde Don?”(Kamu masih ingat Pak Guru, Don?)
Tanya Pak Efriansyah. “Ao Pak,” jawabnya singkat. “Ini perkenalkan,
Pak Hanif, Indonesia Mengajar, penggantinya Ibu Trisa,” Dia
memperkenalkanku kepada Doni. Kemudian saya mencoba menjabat tangannya, tapi ia
mengelak. “Tangan doni jahat ige Pak, kakgi tangan Bapak kotor pule,”(Tangan
Doni kotor, nanti Bakap ikut kotor) katanya. Saya balas dengan senyuman saja.
“Don,
ajak Bapak gurunya ke humeh sinilah,” terdengar suara kakak perempuan Doni
dari kejauhan. “Ao yuk,” jawabnya
singkat. Kami berempat, ditambah Doni, pun bergegas menuju humeh. Kami juga
melihat ayah tiri Doni menyusul dari belakang. Hanya memakai celana kolor dan
membawa golok besar dan terlihat sangat tajam. Sesekali saya mencuri pandang.
Goloknya memang menyeramkan.
Sesampai
di humeh, kami berempat diajak Doni masuk ke humeh. Kakak perempuannya
meyiapkan kopi dan ubi rebus. Namun, ayah tirinya tidak ikut masuk. Dia duduk
di depan pintu belakang, sambil mengasah goloknya. Bunyi asahan golok itu cukup
membuat ngilu gigi saya.
Sambil
menikmati hidangan yang disediakan, paman Doni menjelaskan tentang maksud kedatangan
kami. “Oi Don, Pak Hanif inilah hendak membantu melanjutkan sekolah dengan
di Muara Enim. Dengan la maseh galak sekolah dekde?” (Don, Pak Hanif ini
akan membantu Doni melanjutkan sekolah. Kamu masih mau tidak?) Tanyanya kepada
Doni. Ia tak bisa menjawab. Hening.
“Gale-galenye
tergantung, Bak. Kalu Bak setuju, aku melu bae. Tapi kasihan pule, Bak la tua
di humeh sendiri. Katek yang nanak nasi,” (Semuanya tergantung Ayah. Kalau
dia setuju, saya berangkat. Walaupun kasihan dia sudah tua dan tidak bisa
memasak nasi) Doni menimpali dalam diam. Doni memang sangat menyayangi ayahnya,
walaupun ayah tiri. Karena ia sadar, ia sudah tidak punya siapa-siapa lagi.
Seburuk-buruk lelaki itu, tetaplah ayahnya.
“Doni
hendak melanjut sekolah di mana Pak?,” tanya suami kakak perempuannya. “Di
Yayasan Assaidah, Muara Enim, Kak. Yayasan ini dibiayai oleh Pemerintah Daerah,
sistemnya lok pondok pesantren. Jadi, Doni pacak belajah agama pule,” (Di
yayasan Assaidah. Yayasan dari Pemda. Sistemnya seperti Pondok Pesantren. Jadi
Doni dapat belajar agama) Saya mencoba menjelaskan. “Ilok tuh Don. Tapi,
kami kembalikan lagi ke Doni, kalu dia hendak melanjut sekolah harus serius.
Dekde hanya sampai SMP. Kalu pacak, sampai lulus SMA ngan kuliah,” (Bagus
itu Don. Kami kembalikan lagi ke Doni, kalau dia mau melanjutkan sekolah, harus
serius. Kalau bisa jangan hanya sampai tamat SMP, tapi SMA, atau bahkan kuliah)
Kakak Doni menambahkan. “Doni dekde sendiri pule. Ade kance duwikok dari
Talang Airguci. Doni maseh ingat Juli ngan Syawal dekde? Juli, kance dengan
olimpiade dulu,” (Doni tidak sendiri. Ada dua teman dari Talang. Juli dan
Syawal. Rekannya dalam OSK [3] waktu kelas IV dulu) tambahku.
Diskusi
cukup alot ini terjadi sampai menjelang maghrib. Sambil berdiskusi,
sesekali saya mencari alasan keluar humeh untuk mencari sinyal. Walaupun,
sebenarnya saya mencari posisi yang aman. Entah mengapa mendadak saya
memikirkan hal-hal negatif dari ayah tirinya yang sama sekali tak ada sambutan
hangat, hanya sibuk mengasah golok di pintu keluar. Kemudian, tiba-tiba ia
mengambil motor bututnya dan pergi meninggalkan humeh. Alhamdulillah,
saya merasa sedikit lebih aman.
Kakak
Doni menawarkan solusi dengan meminta tambahan waktu untuk berfikir beberapa
hari lagi. Namun saya tahu, itu hanyalah akal bulusnya. Walaupun kelihatannya
seperti mendukung, kebanyakan pola pikir warga humeh itu lebih suka
anak-anaknya bekerja, tidak perlu sekolah. Oleh sebab itu, saya mencoba
meyakinkan kepada Doni untuk ikut bersama kami ke Talang Airguci. “Dengan
melu bae ngan kami. Kakgi nyubok wadah yayasan dengan di Muara Enim ngan Pak
Hanif. Kalu nendak melanjot sekolah, kakgi Bapak antar lagi ke sini. Tapi kalu
dekde melu, Bapak dekde tau lagi pacak jemput Doni lagi apa dekde.” (Kami
ikut saja dengan kami. Nanti kita lihat dulu sekolahnya di Muara Enim. Kalau
tidak sesuai, Bapak antar lagi ke sini) Jelasku mendesak.
Sampai
pukul 18.00 WIB, mereka belum menentukan keputusan. Saya mencoba menarik ulur
benang penawaran ini dengan segera meminta ijin untuk pulang, karena sudah
petang, keamanan kurang. Keadaan pun semakin tegang. Kami berempat kembali ke motor,
ditemani Doni. Di tengah perjalanan, kami mencoba meyakinkannya untuk terakhir
kali. “Doni, Bapak hendak balik. Ini kesempatan terakhir Doni memilih
keputusan,” ujarku.
Kemudian
Doni berlari lagi ke humeh, ke tempat kakaknya. Pamannya menyusul kesana. Saya
dan pak Efriansyah menunggunya di dekat motor, di humehnya Doni. Saya sengaja
tidak mengikuti mereka karena ini adalah persoalan keluarga. Setelah menunggu
lagi hampir 20 menit, saya melihat Doni keluar humeh, berlari menuju ke arah
saya. “Saya hendak melu Bapak ke Muara Enim. Tapi saya masih tidak tega
meninggalkan Bak sendiri. Saya harus ijin ke Bak dulu.” Ujar Doni disertai
tangis bahagia.
Sesampainya
di humeh, ternyata Bapaknya sudah menunggu di rumah. Kali ini dia duduk di bangku kayu, tanpa memegang
goloknya. Ia sudah menyarungkannya. “Doni kalu mau melanjut sekolah, melu
bae ngan Pak Hanif. Bak dekde apa-apa sendiri di sini. Doni dekde perlu
khawatir, Bak pacak nanak nasi dewek,” (Doni kalau ingin belajar lagi, ikut
saja dengan Pak Hanif. Kamu tidak perlu khawatir, nanti saya masak nasi
sendiri) Ujarnya tiba-tiba. Sebuah kalimat ajaib, bahkan pamannya sendiri tidak
menduganya.
“Tapi,..
Bak...” belum sempat menyelesaikan jawabannya, Doni ditimpali lagi oleh
ayah tirinya, “Udem. Doni berangkat bae melu Pak Hanif. La petang pule, kakgi petang
nian sampai ke talang,” Saya terharu mendengarnya. Tanpa basa-basi lagi, Doni
langsung mengambil baju dan berganti celana. “Aku berangkat ya Bak, jaga
kesehatan di humeh” ijinnya. “Ao, Don! Belajah ngan Pak Hanif yang
serios, mangke jadi uhang hebat pule,” (belajar denga Pak Hanif yang serius
supaya jadi orang sukses) pesannya singkat.
Kami
pun segera menghidupkan mesin motor dan segera bergegas meninggalkan humeh.
Dalam perjalanan, Doni masih tampak bingung. Semuanya terjadi begitu cepat.
Bahkan ia tak pernah sedikit saja menyangka bakal ada orang yang menjemputnya
dan mengajak untuk sekolah lagi.
Di
dalam perjalanan, saya mencoba memecah keheningan. “Doni dulu bagaimana
ceritanya bisa sampai di sini,” tanyaku. “Dulu, ketika hari libur saya
diajak kakek ke dusun. Kemudian saya diajak ke Sunor, Pak,” katanya. “Waktu
saya dibawa kakek itu masih kelas IV, beberapa hari sebelum Evaluasi Tengah
Semester (ETS), Bulan September 2013. Saya ingin sekali kembali, tapi saya
disuruh untuk menyadap karet, tidak boleh sekolah lagi,” tambahnya.
“Setelah
delapan bulan di Sunor, kami pindah ke Senuling, bulan Juni 2014. Kontrak
menyadap karet kami habis, kami harus mencari kebun karet baru disana.”
Imbuhnya. “Hampir empat bulan di Senuling, kakek saya kembali ke duson pada
Oktober 2014. Saya diberikan ke ayah tiri saya di Pagardewa, tempat saya
sekarang. Sedangkan adik saya, diasuh orang lain di Baturaja,” Menurut
cerita yang saya dapat, ada yang bilang adiknya dijual, ada yang bilang bekerja
sebagai pembantu, namun saya sendiri tidak tahu menahu keberadaannya. Saya
hanya bisa berdoa supaya dia baik-baik saja di sana.
“Baiklah.
Kalau begitu Doni berjanji ke Bapak ya, Doni akan belajar dengan
sungguh-sungguh di Muara Enim. Bapak tunggu Doni di Jawa kalau sudah jadi orang
sukses,” ujarku kepadanya. Senyum simpul terurai diwajahnya, disertai
dengan air mata.
Banyak
pelajaran yang dapat saya ambil dari kisah Doni Iskandar. Tentang mimpi dan
realita, perjuangan seorang anak berbakat untuk melanjutkan sekolahnya. Di
tengan krisis dan dilema keluarga yang cukup rumit, apalagi untuk anak
seusianya. Dia tergolong sangat dewasa dan tenang dalam bertindak. Selain itu,
saya juga belajar bahwa seburuk-buruknya orang tua, pada akhirnya mereka akan
selalu berfikir segala sesuatunya untuk kebaikan anaknya. Terimaksih Doni,
untuk pelajaran kali ini. Kesuksesan di depan mata menantimu, Nak!
[1] Trisa Melati, Pengajar Muda angkatan
IV. Ia adalah guru kesayangan Doni yang berhasil menggali potensi Doni yang
terpendam. Baca profil selengkapnya
[2] Efriansyah, rekan guru saya di SDN 10
Rambang kelas jauh. Ia juga hostfam saya selama setahun penempatan. Baca profil
selengkapnya http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/hanif-13/efriansyah-bujang-talang-penggerak-perubahan
[3] Juli Saputra, Semifinalis OSK yang
putus sekolah. Baca selengkapnya http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/hanif-13/juli-semifinalis-osk-yang-putus-sekolah
dipublish juga di situs resmi Indonesia Mengajar
Comments
Post a Comment