Tak terasa, sudah
tiga bulan kami melakukan kegiatan pembelajaran di gedung sekolah baru.
Anak-anak masih belum terbiasa dengan gedung bagus. Mereka juga belum terbiasa
berada di dalam ruang kelas yang luas, hanya satu kelas. Hening. Sepi. Itulah
yang kami rasa.
Selama tiga bulan
itu juga selalu terjadi hal-hal konyol. Mulai dari rebutan sapu sampai kain
pel. Setiap hari, mereka berlomba-lomba untuk membersihkan kelas. Tanpa
perintah, tanpa pamrih. Bahkan pernah juga karena hal ini, mereka sampai
bertengkar memperebutkan alat kebersihan. Saling pukul, saling lempar, dengan
sapu, kain pel, dan tempat sampah. “Kalu kami rajin bersih-bersih, mangke
sekolah kami jadi ringkeh Pak. Kami hendak pule ngasoh sekolah
kami tiap ahi.” Ujar mereka.
Pernah juga ada
insiden seorang anak terjepit jari kelingkingnya di pintu sampai memar dan
kukunya lepas. Hal ini diawali dari ke-hyperaktif-an si anak untuk membersihkan
halaman kelas. Ketika membersihkan debu di sela-sela pintu gudang, ia tidak sadar
bahwa ada anak lain yang sedang membereskan rak buku di sana. Ia tidak sengaja
menutup pintu dari dalam, dan suasan pun pecah ketika mendengar teriakan tangis
sang anak dari luar.
Semua orang panik.
Bidan desa pun jaraknya lumayan jauh. Sesegera mungkin saya meminta bantuan
keluarga angkat saya mengambilkan kotak Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan
(P3K) di rumah. Jujur, itu kali pertama saya merawat luka orang lain. Tapi
tidak ada pilihan, Pengajar Muda memang dituntut seperti dewa, serba bisa. “Oi,
sesok pedengan dekde jadi lagi behusik di pintu,” nasihat saya. “Au,
Pak!” Jawab mereka serempak.
Kejadian paling
konyol adalah ketika mereka bermain-main di jendela. Dibuka, kemudian ditutup
kembali. Hal itu dilakukan berulang kali. Sampai suatu hari jendela itu jatuh,
hampir menimpa kepala seorang siswa. Beruntung, salah satu rekan guru saya
dengan cekatan menahan pintu jendela tersebut.
Saya tidak dapat
sepenuhnya menyalahkan anak-anak. Gedung sekolah ini merupakan bangunan
termegah di talang kami. Semua rumah kami kecil dan tersusun dari papan kayu.
Tidak ada lantai keramik, atau jendela kaca indah seperti di sekolah. Ini hal
baru. Mereka ingin sekali mengeksplorasi, tanpa henti.
Tidak hanya
anak-anak, masyarakat pun seringkali menggunakan gedung sekolah baru sebagai
tempat musyawarah dan pertemuan berbagai kegiatan, seperti penyuluhan kesehatan
dan pengobatan gratis. Beberapa relawan yang datang ke Airguci pun menggunakan
gedung kami, tak terkecuali.
Sebelumnya, gedung
sekolah kami hanya sebuah bangunan semi permanen berkuruan 4x9 meter persegi,
dengan atas seng, dan hampir rubuh. Ruang kecil itu masih harus disekat menjadi
tiga bagian, dengan katu tripleks yang berlubang. Setiap sekat, diisi oleh dua
kelas sekaligus. Kami pun berbagi satu papan tulis untuk dua kelas. Dapat
dibayangkan betapa ricuhnya suasana itu. Tapi kami sudah terbiasa [1].
Anak kelas satu
dapat menyapa kelas dua. Anak kelas tiga dengan bebas meminjam pena ke kelas
lima. Anak kelas empat bebas berlarian dan saling lempar biji karet dengan
kelas sebelah. Namun, kami, para dewan guru sudah terbiasa dan punya formula
untuk menertibkannya. Banyak murid di dalam satu ruang mungil dengan dua sampai
tiga guru, itu sangat cukup bagi kami.
Sekarang, gedung
baru sekolah kami tidak diimbangi dengan jumlah guru. Tiga dewan guru yang
selama ini menjadi partner saya di kelas jauh, semua ditarik ke sekolah induk.
Alasan Kepala Sekolah adalah untuk mempermudah administrasi mereka sebagai
Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Saya senang karena pada akhirnya dua guru
kelas jauh masuk K2 CPNS tahun ini, walaupun saya kurang sepakat dengan
penarikan mereka ke kelas induk. Karena pada dasarnya pengangkatan K2 CPNS
adalah supaya mereka lebih baik lagi di kelas yang mereka ajar, kelas jauh.
Setidaknya itulah info yang saya dapat dari Kepala Dinas Pendidikan &
Kebudayaan Kabupaten Muara Enim. Satu lagi guru lainnya, ditarik sebagai
operator sekolah.
Saya tahu, mereka
bertiga pun cukup berat meninggalkan kelas jauh. Tapi perintah kepala sekolah
ibarat titah raja, mereka tak berani berargumen dengannya. Pada akhirnya,
mereka menyerah terhadap keadaan. Tiga guru kelas jauh ditarik ke kelas induk,
kemudian dua guru dari kelas induk ditransfer ke kelas jauh. Sebagai Pengajar
Muda, harus mulai dari awal lagi untuk mentransfer motivasi dan energi positif
kepada mereka.
Saya bersyukur, satu
dari dua guru itu sangat aktif dan rajin mengajar. Iya, standar guru baik bagi
saya cukup satu, rajin pergi ke sekolah untuk mengajar. Pada akhirnya, di
sekolah kami setiap hari hanya ada dua guru, termasuk saya. Dengan gedung
sekolah baru dan tantangan-tantangan kebiasaan baru anak-anak.
Terkadang saya
sangat khawatir dengan keadaan sekolah apabila ada agenda di kabupaten dan saya
harus meninggalkan sekolah beberapa hari. Saya tidak dapat membayangkan beliau
mengurus semua di sekolah, seorang diri. Saya bersyukur, mendapat partner baru
dan banyak belajar terkait keteladanan kepadanya. Terimakasih Ibu Tiya. Semoga
amal ibadahmu menjadi amal jariyah yang terus mengalir sampai kapanpun.
Kesimpulannya ; pada
akhirnya pembelajaran itu tidak hanya sekedar fasilitas dan sarana-prasarana
yang mencukupi. Bagi saya, guru yang baik lebih berharga dari apapun. Dari role
model itu akan melahirkan pribadi-pribadi yang menyenangkan dan bermanfaat bagi
sesama. Terimakasih untuk guru-guru inspiratif Airguci.
[1] baca selengkapnya tentang kelas
darurat di SDN 10 Rambang kelas jauh, di Talang Airguci : http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/hanif-13/kreativitas-melesat-di-kelas-super-darurat
Note :
dipublish juga di website resmi Indonesia Mengajar
Comments
Post a Comment