“Bisa jadi, Saya belum pantas menjadi guru bagi mereka. Tapi saya juga ingin menjadi bagian dari perjalanan mimpi mereka. Saya hanya memiliki harapan yang sederhana. Saya tak pernah berharap menjadi orang yang spesial di mata mereka. Saat ini, berbagi waktu bersama mereka merupakan suatu kebahagian tersendiri. Memang bahagia tak selalu sederhana seperti yang orang orang pikirkan. Tapi bagi saya, kebahagian adalah bagaimana penerimaan dan penghargaan terhadap kesederhanaan itu sendiri.” Efriansyah,
Pembelajaran kreatif di alam bebas, Efriansyah |
Efriansyah adalah salah satu sosok inspiratif di penempatan saya
mengajar, SDN 10 Rambang (kelas jauh) di Talang Airguci, Rambang, Muara Enim,
Sumatera Selatan. Sudah lebih dari empat tahun, sejak lulus SMA tahun 2010,
pemuda ini mengabdi untuk mengajar anak-anak di pedalaman. Tidak banyak pemuda
seusianya yang berfikiran untuk mengabdi kepada ibu pertiwi.
Memang, empat tahun bukanlah waktu yang lama. Namun juga bukan
waktu yang singkat untuk mengabdi di pedalaman. Usianya yang masih sangat belia
selalu memancarkan energi positif dalam berbagi pengalaman. Termasuk pengalaman
pertamanya ketika memutuskan untuk mengabdi di pedalaman. Salut.
Tak pantas bukan berarti tak berhak
Saat pertama kali mendapat tawaran menjadi guru, sedikitpun tak
ada keyakinan dalam hati bahwa saya memiliki kemampuan mulia tersebut. Secara
pendidikan, saya hanya lulusan SMA, apalagi secara pengalaman. Belum genap
setahun saya lulus dari SMA N 01 Rambang, Muara Enim. Bagiku, menjadi guru
bukan hanya tentang mengajar membaca dan menulis saja, tetapi menjadi role
model yang akan diditiru oleh anak didik. Perasaan takut, merasa belum pantas
menjadi guru, selalu hadir dalam pikiran saya. Bagaimana nanti anak-anak didik
jika saya menjadi guru.
Saya dihadapkan pada posisi yang dilematis. Saya masih sulit untuk
mengambil keputusan. Tapi disisi lain,
saya tak dapat menolak tawaran tersebut karena desakan keadaan. Saya akan
merasa sangat jahat jika membiarkan sekolah di talang saya hanya memiliki
dua orang guru, Pak Hasnel Latif dan Pak Depriadi.
Seminggu kemudian, saya memutuskan untuk menerima tawaran
tersebut. Tidak mudah mengambil keputusan ini. Saya harus berdiskusi dengan keluarga,
dan bertanya kepada banyak orang. Akhirnya saya mengerti mengapa harus
menerimanya. Mereka sangat membutuhkan saya bukan karena kemampuanku. Tapi
mereka memang butuh seorang yang benar-benar bersedia menjadi guru untuk
mereka.
Hari pertama menjadi guru adalah hari yang paling bersejarah
bagi hidup saya. Ketika tiba di sekolah, saya langsung disambut anak-anak
dengan suka cita. Mereka langsung menyalamiku. Ada yang memperkenalkan diri, bahkan ada yang
memberi saya makanan. Saya masih tetap kaku dan belum tahu apa yang harus saya
lakukan disini. Saya benar-benar gugup. Ini adalah pengalaman pertama sekaligus
menegangkan sepanjang hidup saya.
Ketika masuk ke kelas lima, saya merasakan hal yang berbeda. Di
dalam kelas, saya melihat anak-anak yang tidak begitu suka dengan kedatangan
saya. Ketika saya memperkenalkan diri, semua siswa tertawa. Ada seorang siswa berseru,”Lihat Bapak guru, pakai
rompi seperti tukang ojek!”. Merasa dipermainkan, saya benar-benar marah. Tanpa
sadar emosi saya meledak. Saya tumpahkan semua kekesalan kepada mereka. Semua
anak tertunduk diam. Tak ada yang berani
menatap mata saya. Dalam hati ada sedikit rasa lega karena mereka takut kepada
saya.
Saya merasa senang telah memberi pelajaran kepada mereka.
Saya menunjukkan kepada mereka bahwa saya bukanlah orang yang bisa mereka
permainkan seenaknya. Saya berharap dengan melihat kemarahan, akan memberikan
efek jerah.
Ternyata apa yang saya pikirkan salah. Bukannya jerah, tapi mereka
semakin menjadi jadi. Puncak kemarahan saya meledak ketika waktunya pulang,
motor saya tidak ada lagi di tempat parkir. Pada saat kebingungan, tiba-tiba mereka
tertawa lepas penuah kepuasan. Sekejap saya langsung naik pitam dan
mengeluarkan kalimat sumpah serapah. Melihat saya emosi, mereka berlari
menjauhi saya sambil menunjuk di mana motor mereka sembunyikan.
Saya sangat emosi, melihat motor sudah berada di dalam semak
belukar. Kesabaran saya diuji. Dengan penuh emosi, saya kembali masuk ke dalam
ruang kelas mencari anak-anak yang telah mempermainkanku. Ketika saya masuk ke dalam
ruang kelas lima, saya menatap mereka satu persatu. Terlihat beberapa anak
pucat ketakutan. Bahkan beberapa anak perempuan matanya mulai memerah menahan
tangis. Saya pun memberikan ancaman jika mereka berani mempermainkan saya
lagi.
Setelah kejadian bersejarah itu, saya yakin mereka akan jerah.
Tapi sekali lagi, ternyata dugaan saya salah. Mereka semakin
menjengkelkan. Setiap hari, selalu ada tingkah mereka yang membuat saya kesal.
Saya sangat lelah dengan keadaan ini. Setiap hari saya marah-marah dan membuang
energi sia-sia.
Saya hampir menyerah dengan keadaan. Saya ingin sekali
mengakhiri semua kekonyolan ini. Tak akan Saya biarkan mereka mempermainkan
harga diri saya. Bagaimanapun juga, saya tetaplah seorang guru yang harus
mereka hormati. Saya berpikir keras tentang cara menghadapi kejahilan mereka. Jika
dibiarkan terus menerus, saya pasti akan stres, tidak fokus mengajar, atau
bahkan bisa berhenti mengabdi menjadi seorang guru.
Siang malam saya memutar otak, mencari solusi. Tantangan ini
membuat saya ingin sekali menemukan resep jitu untuk membuat mereka bertekuk
lutut di hadapan saya. Beberapa cara dan metode telah saya coba, namun belum
ada hasil yang menggembirakan. Kegagalan demi kegagalan membuat saya semakin
tertantang. Saya berjanji pada diri sendiri akan mengubah mereka menjadi anak
baik.
Akhirnya, saya menyadari, saya harus merebut hati mereka dan
membuat mereka menyadari betapa berartinya kehadiran guru di pedalaman. Mereka hanyalah
anak kecil. Saya tidak akan pernah dekat jika selalu menggunakan emosi. Hal pertama
yang saya lakukan adalah membuat mereka merasa nyaman dengan saya.
Keesokan harinya, dengan ide yang telah saya siapkan, saya masuk ke dalam kelas dengan penuh
semangat. Berbeda denga sebelumnya, hari itu kusapa mereka dengan
senyuman termanis dan bersahabat. Saya tidak memberikan pelajaran, tapi
lelucon. Hari itu saya membuat mereka tertawa. Saya percaya, tertawa bersama
adalah jurus paling ampuh untuk mendekatkan hubungan kami. Saya membawakan
sebuah cerita lucu disertai suara dan gerakan yang ekspresif. Hari itu saya harus
lucu meskipun sudah lama tak pernah melakukanya. Terakhir saya melucu bersama
teman-teman saya SMA dua tahun silam.
Mereka fokus mendengarkan dan hanyut dalam cerita. Belum sampai
semenit, suara tawa langsung bergemuruh memecah keheningan ruang kelas. Semakin
lama bercerita, ruang kelas bertambah penuh dengan anak-anak dari kelas lain. Ada
sedikit kebanggaan di dalam hati saya. Ternyata, bukan hanya anak kelas lima
yang tertarik dengan cerita saya.
Setelah bercerita, saya melihat perubahan sikap mereka. Ada anak
yang menarik tangan, meminta agar saya bercerita lagi. Ada pula anak yang masih
belum berhenti tertawa. Bahkan, beberapa anak meminta ceritanya diulang kembali.
Mereka tidak menyangka bahwa saya dapat menjadi guru yang menyenangkan. Selama ini,
mereka menganggap saya hanya bisa mengeluarkan amarah saja. Saya tersenyum
simpul, ternyata selama ini saya salah, karena lebih mementingkan harga diri di
hadapan mereka. Saya belajar menekan mengalahkan ego demi senyum mereka.
Sekarang, saya tidak perlu membuang energi sia-sia hanya untuk
marah marah seperti dulu. Mereka selalu berkerumun untuk mendengar cerita. Saya
tak menyia-nyaikan kesempatan ini untuk lebih dekat dengan mereka. Tidak hanya
memberikan cerita, tapi mereka juga harus bercerita balik kepada saya. Kami pun
sering menghabiskan waktu bersama-sama, dengan bercerita dan tertawa
sekeras-kerasnya. Di mata anak-anak, saya tidak hanya seorang guru, tapi teman yang
siap menjadi pendengar atas segala keluh kesah mereka.
Banyak pengalaman yang saya dapatkan sejak menjadi guru. Sekolah
memang guru terbaik bagi manusia. Di sana, di hadapan anak anak, saya dapat
melihat begitu banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Saya baru memahami,
ternyata jurus yang paling ampuh memenangkan hati anak anak bukan hanya metode
mengajar, atau seberapa banyak ilmu gurunya. Bagi saya hubungan guru dengan
murid bukan hanya sekedar hubungan antara pemberi dan penerima saja. Tapi harus
dapat menjadi teman yang baik, dimana terjadi hubungan timbal balik antara keduanya.
Anak-anak juga manusia, sama seperti gurunya. Tidak ada salahnya mengalahkan gengsi
dan ego demi melihat senyum tulus di wajah mereka.
Bicara pantas, Saya memang belum pantas menjadi guru bagi
mereka. Terlalu banyak kekurangan, pendidikan, dan pengalaman. Namun, kekurangan
bukanlah alasan untuk menjadi pesimis. Boleh jadi saya memang belum pantas
menjad guru, tapi saya juga berhak menjadi bagian dari perjalanan mimpi mereka.
Saya hanya memiliki harapan yang sederhana. Saya tak pernah berharap menjadi
orang yang spesial di mata mereka. Saat ini, berbagi waktu bersama mereka
merupakan suatu kebahagian tersendiri. Memang bahagia tak selalu sederhana
seperti yang orang orang pikirkan. Tapi bagi saya, kebahagian adalah bagaimana
penerimaan dan penghargaan terhadap kesederhanaan itu sendiri.
![]() |
Bujang inspiratif ini juga saya orbitkan di ENIM Ekspress, surat kabar lokal :D |
NB : Tulisan ini diambil dari catatan pengalaman hidup yang
ditulis oleh Efriansyah dengan sedikit editing redaksional dari saya hahaha :D juga saya publish di website Indonesia Mengajar
Comments
Post a Comment