“Anak-anak, kakgi kalu la besak, nak
jadi ape die?” (Anak-anak, nanti
kalau sudah besar mau jadi apa?) tanyaku iseng.
“Tukang takok, Pak! Lemak nian, banyak
duitnye,” (Penyadap karet pak. Enak, punya banyak uang) jawab Edo.
“Tokeh balam, Pak! Humahnye la besak,
punye banyak mobil pule,” (Pengumpul getah karet Pak! Punya rumah besar dan
banyak mobil juga) jawab Engki
“Beeeuh... la ngape jadi tukang takok
ngan tokeh balam, oi. Buyan nian ni uhang. Kalu aku nak jadi pilot, Pak! Kakgi
pacak ke Jawe betandang ke humahnya Pak Hanif, Bu Adhim, Bu Tresa, Pak Dimas (Empat
generasi Pengajar Muda di Talang Airguci). Lemak pak, mangke jadi sampai
Jakarta pule,” (Mengapa kalian hanya ingin jadi penyadap dan pengumpul
karet? Seperti orang bodoh saja. Kalau saya ingin jadi pilot pak. Nanti dapat
terbang ke Jawa mengunjungi Pak Hanif, Bu Adhim, Bu Trisa, dan Pak Dimas. Enak
Pak, sampai Jakarta) Ungkap Radit mantap.
“Pak, pak, aku dekdeh jadi tukang
takok, Pak. Nak jadi pilot lok Radit bae. Saya galaknya behusik ke humeh Bapak
pule, kakgi,” (Pak, saya tidak ingin jadi penyadap karet lagi. Saya jadi
pilot saja seperti Rahdit, biar dapat mengunjungi bapak nanti) Sahut Edo.
“Pak, aku dekdeh jadi tokeh pule pak.
Aku nak jadi polisi bae. La banyak gale maling balam di talang kite. Sama bae
kalu nak jadi tokeh, tapi balamnya dimaling uhang. Kalu jadi polisi mangke
pacak belage ngan maling balam,” (Pak, saya juga tidak jadi pengumpul karet
juga. Saya jadi polisi saja. Sudah banyak pencuri getah karet di talang kita.
Sama saja, kalau jadi pengumpul getah tapi dicuri orang. Kalau jadi polisi
dapat menangkap pencuri) Engki menambahkan.
“Kalu aku, nak jadi guru Indonesia
Mengajar lok Bapak be. Lemak. La pintar, pacak keliling dunia, lok Bapak” (Kalau
saya jadi pengajar muda seperti bapak. Enak pak, sudah intar dan dapat keliling
dunia) ujar Laura.
“Aku sama ngan Laura, Pak! Nak jadi
guru Indonesia mengajar. Kalu banyak Indonesia mengajar, mangke ndak katek
budak talang buyan pule.” (Saya sama dengan Laura, Pak. Jadi pengajar muda.
Kalau banyak pengajar muda, maka tidak ada lagi orang bodoh di talang kita) kata
Siska.
“Pak, saya nak jadi bidan, Pak! Engke
kakgi pacak bantu kance-kance. Alangkah kasihannya pak, kami kalu nak berobat
jauh nian. Kakgi kalu udem jadi bidan, humahku parak dengan ya, Laura, Siska,”
(Saya ingin jadi perawat supaya dapat membantu orang lain. Kasihan, kalau mau
berobat jaraknya sangat jauh. Nanti kalau sudah jadi perawat, saya akan
membangun rumah di talang, dekat rumahnya Siska dan Laura) jawab Nadia.
“Kalu saya nak jadi tentra, Pak. Lemak
nian, pacak baris-berbaris ngan bawe pistol, untuk nimbak maling balam lok
Engki,” (kalau saya ingin jadi tentara. Seru pak, dapat berlatih
baris-berbaris dan membawa pistol kemana-mana. Nanti membantu Engki menangkap
pencuri getah karet di talang kita) sahut Ari.
“Okay, Rahdit dan Edo nak jadi pilot.
Engki nak jadi polisi. Ari tentra. Siska dan Laura nak jadi guru Indonesia Mengajar.
Nadia nak jadi bidan. Kalu Wanto, nak jadi ape die dengan? Bapak dekdeh dengah
suahe dengan,” (Okay, Rahdit dan Edo ingin jadi pilot. Ari jadi tentara.
Siska dan Laura menjadi pengajar muda. Nadia jadi perawat. Kalau Wanto ingin
jadi apa kamu, Nak?) saya mencoba menyimpulkan cita-cita mereka sambil bertanya
kepada siswa kedelepan, Sarwanto.
“Basing, Pak! polisi jadi, tentra
jadi, TNI jadi, nakok balam jadi pule.” (Terserah saja pak. Jadi polisi,
tentara, TNI, atau penyadap karet pun tidak apa-apa) jawab Wanto datar.
Saya selalu terhibur
mendengar jawaban tentang mimpi anak-anak kelas galaksi Bima Sakti ini. Melihat
semangat mereka seperti bahan bakar yang senantiasa menjadi sumber energi
positifku di sini, Talang Airguci. Mimpi-mimpi mereka sungguh sederhana dan
luar biasa. Sebagai guru, saya hanya dapat mendukung dan mengarahkannya. (baca
selengkapnya tentang anak-anak galaksi bima sakti http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/hanif-13/kelas-galaksi-bima-sakti)
Bagi saya, tidak ada
salahnya apabila mereka ada yang bercita-cita menjadi tukang takok balam
(penyadap getah karet, red). Tidak salah juga bagi mereka yang bermimpi menjadi
tokeh balam (pengumpul getah karet, red). “Silahkan kalian mau jadi apapun,
nak! Asalkan kalian dapat bertanggung jawab dengan pilihan kalian, dan mampu
membawa manfaat bagi orang lain,” inilah pesan yang seringkali saya
sampaikan ke mereka.
***
Suatu hari saya
membawa kertas karton vanila berbagai warna ke sekolah. Kemudian saya meminta
mereka untuk membuat gambar cita-cita mereka di kertas yang disediakan. Setelah
gambarnya jadi, mereka mewarnainya dengan bahagia. Visualisasi mimpi,
cita-cita, penuh canda dan tawa, Aaaaah... pagi yang luar biasa!!!
Kemudian, Ketika
anak-anak sibuk dengan menggambar dan mewarnai, saya mulai membuat bentukan
elips beraneka warna. Saya memotongnya dengan teliti, dan boooom!
jadilah telur raksasa berwarna. “Anak-anak, sekarang pilihlah telor sikok
bae. Isi dengan gambar cita-cita dengan,” (Anak-anak, sekarang pilih satu
telur. Isi dengan cita-cita kalian) perintahku. Mereka pun meresponnya dengan
tanggap. Tidak sampai sepuluh detik, delapan telur itu sudah habis diambil oleh
tangan mungil penuh keingintahuan itu.
“Anak-anak, siape
yang galak bantu bapak ambek pelekat?,” (Anak-anak, siapa yang mau membantu
bapak mengambil lem kertas?) tanyaku. Semua tangan diangat, dengan wajah penuh
harap supaya saya memilih mereka. “Okay, Edo, dengan bantu bapak ambek pelekat,”(Okay
Edo, kamu bantu bapak ambil lem ya!) “Yeaaaaaay!” betapa bahagianya
mereka, hanya sekedar terpilih untuk membantu bapak gurunya mengambil lem
kertas. Kemudian Edo mengambil lem dan memimpin teman-temannya untuk
menempelkan gambar cita-cita mereka ke dalam telur yang masih kosong.
“Anak-anak, cuka
kinakilah telor dengan sikok-sikok. Dengan sekarang lok atuh. Maseh kecik, lok
bayi dalam telor.” (Anak-anak, coba lihatlah telur kalian satu-satu. Kamu
sekarang seperti telur tersebut. Masih kecil, seperti embrio dalam telur) saya
mulai menjelaskan. “Beeeuh... makmane Pak, lok atuh? Saya dekdeh tau Pak,”
(Makksudnya bagaimana pak, saya tidak faham) tanya salah seorang siswa. “Oi,
dengan lok telor atulah. Cita-cita dengan lok isi telor itulah, harus diasoh,
mangke kalu la besak, la jadi uhang.” (Kalian seperti telur-telur itu.
Cita-cita kalian seperti isi telur, harus dijaga sampai besar dan tercapai jadi
orang yang diinginkan) tambahku. Setelah itu, kami pun menempel semua telur di
dinding kelas.
“Engke telor
pacak meletas, kita butuh sangkah untuk
menghangatkan,” (Supaya telurnya dapat menetas, kita butuh sarang sebagai
tempat menghangatkan) “telornya masak kalu dihangatkan pak,” (Telurnya
matang kalau dimasak pak) jawab seorang siswa diikuti canda tawa. Saya lupa, di
sini arti kata hangat adalah panas. Jadi kalau dihangatkan, maknanya
dipanaskan. Maka yang mereka tangkap adalah telur direbus. “Beeeuh...
dekdeh, maksud bapak telurnya dierami endongnya di sangkah, oi,” (Bukan,
maksud bapak, telurnya dihangatkan oleh iduk di dalam sarang) saya mencoba
meluruskan.
“Payo, kite
gale-gale nak buat sangkah engke telornya pacak meletas,” (Ayo kita semua
membuat sarang supaya telurnya dapat menetas) ajakku kepada anak-anak sambil
memberikan kertas karton vanila berwarna dan gunting. Kami semua kemudian
memotong sisa-sisa kertas pembuatan telur dan gambar cita-cita untuk membuat
sangkar. “Anak-anak, sebelum dengan menempel sangkah buat telor cita-cita, cukalah
tulis ape die bae yang harus dilakukan engke cita-cita kite gale-galenya
tercapai.” (Anak-anak, sebelum kalian menempel sarangnya, coba tuliskan apa
saja yang harus dilakukan supaya cita-cita kita tercapai) ajakku lagi.
Kemudian mereka
menulis apa saja yang harus dilakukan dan apa saja yang harus dihindari supaya
cita-cita mereka tercapai. Ada yang menulis harus rajin sekolah, mengerjakan
PR, berangkat sekolah jam 06.00 pagi, membantu orang tua, membuang sampah pada
tempatnya, rajin belajar, dan masih banyak lagi. Setelah itu, mereka menempel
sarang yang berisi pesan-pesan positif yang mereka buat sendiri.
Akhirnya, telur
cita-cita kelas galaksi bima sakti pun selesai. Dengan bangga, mereka
memamerkan karya bersama ini kepada kelas sebelah. Mereka pun selalu berusaha
menaati pesan positif yang mereka buat sendiri. Apabila sesekali mereka
menyalahi aturan, misal membuang bungkus permen sembarangan, atau berkelahi
dengan temannya, maka saya cukup menyuruh mereka membaca janji-janji mereka
sendiri di telur cita-cita.
Ternyata, cara ini
sangat efektif untuk menerapkan positif disiplin di kelas kami. Mereka juga
belajar bertanggung jawab kepada janji-janji yang mereka buat sendiri. Secara
tidak langsung, mereka juga belajar menjadi karakter yang lebih baik dan terus
memperbaiki diri. Terimakasih kelas galaksi bima sakti, terimakasih anak-anak
Airguci. Kalian luar biasa... tetaplah menaatinya sampai telur cita-cita kalian
menetas, suatu hari nanti.
Comments
Post a Comment