Setiap anak adalah bintang. Setiap anak itu juara. Setiap anak
punya kelebihan dan kecerdasan di bidangnya masing-masing. Setidaknya mindset
itulah yang membuatku tak patah semangat dalam berjuang mengasah intan di
pedalaman hutan Sumatera Selatan.
Sejak awal saya datang di penempatan Indonesia Mengajar, di Talang
Airguci, Desa Sugihan, Kecamatan Rambang, Kabupaten Muara Enim, saya dapat
merasakan bahwa anak-anak SDN 10 Rambang (kelas jauh) ini sangat spesial.
Mereka punya karakter yang unik. Ceria, semangat, perasa, kompetitif, dan lebih
dari 90 % bergolongan darah A. Iya, dapat dikatakan bahwa masyarakat
Talang Airguci itu masih satu keluarga. Mereka semua masih ada hubungan darah. Mereka
berasal dari Suku Rambang, yaitu salah satu suku melayu pedalaman di Sumatera
Selatan. Sejarah talang menyebutkan bahwa puyang (nenek moyang) suka berpencar
dan menyebar ke hutan dalam kelompok kecil untuk berkebun. Dari
kelompok-kelompok kecil tersebut, mereka beranak pinak dan terbentuklah
pemukiman mini di dalam hutan yang disebut talang. (baca selengkapnya di http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/hanif-13/kelas-galaksi-bima-sakti)
Secara kemampuan, anak-anak Talang Airguci sangat cerdas di bidang
verbal dan linguistik. Mereka ahli dalam membuat cerita, syair, dan pantun.
Apabila ditugaskan membuat pantun, mereka dapat merangkai kata-kata indah dalam
sekejap. Sepertinya, mereka sudah hafal di luar kepala. Bahkan, saya pun sampai
kewalahan apabila adu pantun dengan mereka. Luar biasa! Beberapa pantun favorit
saya dari mereka adalah :
Terimakasih Pak Hanif Azhar
Datang ke sini untuk mengajar
Terimakasih aku ucapkan
Untuk Indonesia Mengajar
(Karya Juli Saputra, (seharusnya) siswa kelas VII SMP, tapi
putus sekolah)
Lihat-lihat ke atas langit
Banyak bintang bertaburan
Teman-teman jangan menangis
Kalau nanti pak Hanif Pulang
(Karya Ramadhan Pradika alias Bomboy, Siswa kelas II
SDN 10 Rambang)
Kemampuan menulis dan mendongeng mereka juga tak diragukan. Mereka
punya minat baca yang sangat tinggi, walaupun dengan keterbatasan sarana. (baca
selengkapnya di http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/hanif-13/ramaikan-perpustakaan-dengan-hall-of-fame-pendidik). Pernah sekali saya menugaskan mereka untuk membuat sebuah cerita
kreatif sebanyak enam halaman kertas HVS dalam waktu semalam. Iya, hanya
semalam. Karena waktu itu kebetulan deadline pengumpulan tulisan untuk
lomba Konferensi Penulis Cilik Indonesia (KPCI). Momen ini sekalian saya
gunakan sebagai seleksi pemilihan duta Airguci yang akan berpartisipasi dalam site
visit ke PT. Bukit Asam, persero (Tbk), di Tanjung Enim.
Keesokan harinya, sebanyak 13 anak mengumpulkan cerita tersebut.
Tidak kurang dari enam halaman, bahkan ada yang dilebihkan. 13 itu angka yang
sangat fantastis! Karena memang jumlah siswa di kelas jauh SDN 10 Rambang
sangat sedikit. Siswa kelas 5 hanya delapan anak, kelas 4 hanya tiga. Kelas 6
tidak ada, mereka belajar di sekolah induk. Itu berarti, semua siswa kelas
besar 100% membuat cerita, ditambah beberapa anak dari kelas 3 yang tidak mau
kalah. Mereka terinspirasi oleh Tri Alya Desta, salah seorang siswi
kelas 5, tahun lalu berangkat ke Jakarta sebagai perwakilan Sumatera Selatan
dalam Konferensi Penulis Cilik Indonesia (KPCI). Sangat kompetitif!
Selain kecerdasan verbal dan linguistik, anak-anak ajaib ini pun
jago dalam bidang musik dan visual. Mereka adalah mesin fotokopi yang sangat
cerdas. Mereka dapat meniru semua karya guru-gurunya, kemudian memodifikasi
dengan gaya mereka sendiri. Pernah sekali saya membuat komik strip dalam
membalas sahabat pena. Kemudian itu menjadi salah satu referensi mereka dalam
berkirim surat. Pernah juga saya membuat ucapan dalam bentuk gambar, mereka pun
dapat referensi baru yang tidak kalah seru. (baca selengkapnya di http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/hanif-13/sahabat-airguci).
Mereka juga ahli dalam memainkan alat musik tradisional, khususnya
angklung. Mereka sudah mengerti nada di usia dini. Bahkan, pengalaman unik
ketika site visit Indonesia Mengajar ke Talang Airguci akhir Januari
2015 lalu, dua visitor dari Jakarta sempat terkagum dengan penampilan mereka
dalam prosesi penyambutan. Saya sendiri cukup kaget ketika mereka memainkan 3
lagu dengan angklung, salah satunya lagu daerah Rambang, Muara Enim, yang belum
pernah saya ajarkan. Ternyata, selama seminggu saya meninggalkan mereka untuk
mempersiapkan kegiatan site visit di kota, mereka berlatih keras belajar
lagu baru, tanpa sepengetahuan saya. Ya Allah, anak-anak ini sungguh berbakat
dan penuh kejutan. (baca selengkapnya di http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/hanif-13/makhluk-kecil-penuh-kejutan-selamat-tujuh-bulan-pm)
Kecerdasan interpersonal mereka juga berkembang dengan baik.
Percaya apa tidak, mereka akan berlomba-lomba untuk tampil di depan umum kalau
ada kesempatan, baik itu menyanyi, menari, maupun berpidato. Ketika pelajaran
pun, mereka akan berlomba mengangkat tangan apabila pak guru melemparkan
pertanyaan. Dapat menjawab atau tidak, itu urusan belakang, yang penting eksis
dan berani tampil di depan. Hal inilah membuat saya berinisiatif untuk
membentuk klub public speaking setiap kamis malam. Kegiatan ini pun
menjadi acara favorit yang selalu mereka nantikan. Manusia Srigala, 7 Manusia
Harimau, Pangeran Lutung, dan siluman-siluman di layar kaca lainnya pun terlupakan.
(baca selengkapnya di http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/hanif-13/ggs-gara-gara-sinetron).
Namun, apabila sudah dihadapkan dengan matematika dan logika,
mereka seperti cacing kepanasan. Mati segan, hidup tak mau. Entah, apakah ada
yang salah dengan angka-angka itu, nak? Apakah mereka menari-menari di
kepalamu, nak? Saya tidak tahu, kenapa mereka takut dengan angka.
Padahal mereka sekuat tarzan yang berani melawan monyet ketika berebut buah
rambutan di hutan, atau ular dan babi hutan ketika mandi di selokan #eeh
sungai kecil maksud saya, atau sekedar bertarung dengan anjing gila untuk
melindungi gurunya yang ketakutan. Kenapa nak, kenapa??? (mulai drama)
Sempat saya berfikir kalau beberapa anak ini diskalkulasia. Hal ini
diperkuat dengan hipotesa saya tentang seorang anak (yang mungkin) disleksia.
Namanya Chad, siswa kelas 5 SD tapi belum bisa menulis layaknya anak normal.
Apa yang dia tulis, berbeda dengan apa yang di fikirkan. Tulisannya sulit
dibaca, dan tidak ada seorangpun yang mengerti artinya, kecuali dia.
“Oi Chad, hendak menulis ape dengan?,” tanyaku. “Chad
hendak menulis surat terimakaseh karena Bapak la mengajah kami dan ngajung kami
belajah ngan bapak di humeh,” jawabnya. Kemudian dia memberikan surat yang
tidak saya mengerti tulisannya, disertai buah rambutan dan senyum penuh
ketulusan. Ya Allah, Astaghfirullahaladzim. Saya perbanyak istighfar dan
kembali berpikir positif, mungkin saya terlalu curiga karena sering menonton
film Taare Zameen Par, sebuah Bollywood movie favorit saya yang
menceritakan kehidupan anak disleksia dan cara penanganannya.
Sampai akhirnya, pada suatu hari saya menemukan mereka bermain biji
karet di hutan. Hiking dan eksplorasi hutan adalah salah satu kegemaran
anak-anak talang. Sambil berjalan dan berlarian, sesekali mereka berlomba
memanjat pohon. “Pak Hanif, kami la pacak manjat dahan lok cingkuk. Bapak
pacak dekdeh? Kami la ahli nian,” tantang mereka. Karena gurunya
kompetitif, kami pun berlomba memanjat pohon seperti monyet.
Setelah itu mereka mengumpulkan biji balam (biji karet, dalam bahasa
talang). Mereka membawa sekantong plastik yang cukup besar. Kemudian bermain
adu balam, yaitu permainan yang mengadu kekuatan permukaan biji balam dengan
menekannya sangat kuat. Biji balam yang pecah dinyatakan kalah. Kemudian
pemenangnya akan mendapatkan sejumlah biji balam lawan sesuai taruhan dan kesepakatan
di awal.
Sekilas permainan ini tampak biasa. Tapi, hey... tunggu,
saya baru menyadari ternyata anak-anak ini mampu mengaplikasikan teori
matematika dasar dengan biji balam. Setidaknya mereka dapat mengoperasikan
penjumlahan dan pengurangan dalam permainan tersebut. Mereka dapat menghitung
jumlah balam sebelum dan sesudah permainan. Termasuk operasi perkalian dan
pembagian apabila mereka bermain dalam tim. Padahal, saya pernah gagal mencoba cara
ini di kelas. Tapi, media pembelajarannya memakai kelereng dan permen.
Terkadang saya bertanya dalam hati, “Ada apa dengan biji karet
nak? Apakah bau khas balam yang pedih dan membuat air mata mengalir itu mampu
memicu kinerja otakmu dalam belajar matematika dan logika, nak? Jika memang
benar, baiklah, besok bapak akan meminta kalian membawa sekarung biji balam ke
sekolah.” Dan mereka pun kegirangan mendapat tugas tersebut. Keesokan
harinya masing-masing anak membawa sekantong biji balam yang berisi antara
300-500 buah.
Sesampainya di kelas, saya mulai menerapkan beberapa metode operasi
hitung sederhana seperti video tutorial pembelajaran kreatif oleh
inibudi.org. Bedanya, saya menggunakan media biji balam. “Beee... saya
la pacak nian behitong. Kalu pakai biji balam, mangke dekdeh sareh pule, oi.”
Itulah ekspresi bahagia mereka. Trust me, it works!
Alhamdulillah, ternyata sebenarnya mereka mampu.
Kitalah, para pengajar, yang dituntut untuk lebih kreatif dalam menemukan cara
belajar yang sesuai dengan siswa. (baca juga tulisan saya di ruang belajar http://belajar.indonesiamengajar.org/2014/11/origosistem-belajar-ilmu-sains-dan-sosial-dengan-kolase-origami/) Saya jadi teringat bahwa
selama dua tahun berturut-turut, anak Talang Airguci pernah mewakili Muara Enim
dalam Olimpiade Sains Kuark (OSK) di tingkat Provinsi Sumatera Selatan.
Bahkan, salah satu anak didik PM talang Tebatrawas sampai ada yang menjadi
finalis tingkat nasional di Jakarta. Salah satunya adalah Juli Saputra (simak
cerita lengkapnya di http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/hanif-13/juli-semifinalis-osk-yang-putus-sekolah)
Eksperimen biji balam pun terus berlanjut. Supaya lebih menarik
dalam belajar operasi hitung, kami pun merangkai biji-biji favorit monyet itu
menjadi gelang, kalung, dan tasbih. Setiap barang mempunyai satuan biji yang
berbeda untuk latihan berhitung. Misalnya, 10 biji balam untuk gelang, 25 untuk
kalung, dan 33 untuk tasbih. Kami juga berencana mengembangkan eksperimen biji
balam ini untuk produk sederhana lainnya. Seperti mahkota, bando, tas jinjing,
ikat pinggang, dan aksesoris lainnya. Cara ini pun semakin menambah semangat
mereka untuk belajar berhitung yang sebelumnya merupakan momok terbesar di
sekolah.
Tentunya keberhasilan anak-anak ajaib di Talang Airguci tidak
terlepas dari guru-guru luar biasa yang mengabdikan diri untuk pendidikan di
pedalaman hutan. Pak Hasnel Latif, guru honorer belasan tahun sejak awal
sekolah berdiri (1996), perintis sekolah yang baru lolos K2 CPNS akhir tahun
2014. Pak Efriansyah, pemuda talang yang memilih untuk rela mengabdi demi
kemajuan pendidikan di talangnya sejak lulus SMA empat tahun silam, padahal
bisa jadi banyak kesempatan baginya untuk mengembangkan diri di luar talang.
Pak Sempriadi, guru yang berasal dari desa, rela menempuh perjalanan jauh dan
melelahkan demi panggilan pendidikan. Pak Depriadi, pembina pramuka dan guru
agama yang selalu mengobarkan semangat muda. Serta Pak Yon Mulyono, kepala
sekolah yang penuh dedikasi untuk membangun daerah tertinggal.
Dewan guru SDN 10 Rambang kelas jauh (dari kiri) : Pak Efriansyah, Pak Hasnel, Pak Yon Mulyono (kepala Sekolah), Pak Sempriadi (Bendahara Sekolah), Pak Depriadi (Pembina Pramuka) |
Cerita anak balam ini semakin menguatkan mindset saya bahwa
setiap anak adalah bintang. Tidak ada perbedaan antara anak talang, anak desa,
maupun anak kota. Minimnya fasilitas tidak akan menghalangi niat belajar mereka
(baca selengkapnya di http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/hanif-13/kreativitas-melesat-di-kelas-super-darurat dan http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/hanif-13/masker-untuk-masa-depan)
Mereka semua punya hak yang sama dalam memperoleh pendidikan yang layak. Karena sejatinya cita-cita luhur para pendahulu kita adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD tahun 1945.
Talang Airguci, 14 Februari 2015
Hanif Azhar, Pengajar Muda Angkatan 8 Kabupaten
Muara Enim
(Refleksi 8 bulan di pedalaman hutan Sumatera Selatan)
Tulisan ini juga dimuat di website Indonesia Mengajar
Comments
Post a Comment