Saya mungkin belum
merasakan betapa berartinya eksistensi saya di dunia sebelum bertemu dengan
anak-anak ajaib ini. Anak didik saya memang tidak banyak. Dihitung dengan jari
tangan pun sudah lebih dari cukup. Sebagai wali kelas 3, saya hanya mendapatkan
amanah untuk mengawasi perkembangan delapan anak sampai setahun ke depan.
Justru, sedikitnya jumlah anak didik membuat saya dapat lebih dekat secara
personal dan belajar mengenal karakter mereka. (Baca tulisan saya
sebelumnya, Kelas Galaksi Bima Sakti)
Kedekatan emosi kami
pun semakin erat. Belum pernah terpikirkan sebelumnya, anak-anak umur 8-9 tahun
sudah pandai membuat kejutan-kejutan kecil yang menyenangkan. Pernah saya tidak
masuk sekolah beberapa hari karena sedang ada sedikit urusan bersama Kelas
Inspirasi Palembang. Ketika pulang ke talang, saya terkejut. Masuk kelas penuh
hiasan warna-warni bertuliskan “Selamat Datang Bapak Hanif Azhar, Kami
Merindukanmu”. Satu kertas untuk satu huruf, dihias sedemikian rupa, semua
warna ada, dan ditempelkan di dinding sekolah. Saya terpaku melihatnya.
Pernah juga ketika
saya memberi tugas kesenian dan kewarnegaraan untuk membuat karya bertemakan nasionalisme.
Beberapa di antaranya ada yang menggambar burung garuda, Pancasila, Presiden
RI, dan pahlawan nasional. Namun, sebagian lainnya menggambar sebuah sosok yang
sangat akrab dengan mereka, yaitu gurunya. Iya, mereka menggambar diri saya.
“Bapak adalah pahlawan kami, berarti menggambar bapak juga termasuk karya
nasionalisme kan, Pak?” tanya mereka polos. Sekali lagi saya terdiam.
Entahlah, dari mana
mereka mendapatkan ide-ide kejutan tersebut. Yang pasti, setiap hari selalu ada
kejutan menyenangkan untuk saya. Puncaknya adalah hari pertama masuk sekolah di
semester dua. Memang, sebelumnya saya sempat meninggalkan talang untuk
memanfaatkan liburan semester ganjil selama dua minggu. Setidaknya itu waktu
yang cukup lama bagi mereka. Ketika melihat saya dari kejauhan, mereka langsung
berlarian menjemput saya. Kemudian berebutan mencium tangan saya, serta memeluk
saya dari berbagai macam sisi. Mereka menciumi tangan saya dengan antri,
seperti orang-orang berbaris menunggu giliran mengambil sembako. Tidak ada
habisnya. Setelah berhasil mencium saya, mereka ikut berbaris lagi di urutan
paling belakang. Dan begitu seterusnya. Setelah itu, mereka mengangkat saya
beramai-ramai. Mengarak saya keliling lapangan sekolah, saking bahagianya.
Hemat saya, kok bisa anak-anak sekecil ini menggendong gurunya keliling
lapangan? Mengagumkan!
Hari-hari
menyenangkan pun kami lewati bersama. Bermain sambil belajar di sekolah.
Menjelajahi hutan tropis dan kebun karet. Berburu biji karet dan berebut
bersama monyet-monyet. Menyelusuri sungai dan mandi bersama. Membentuk
klub-klub kreativitas, bahasa Inggris, dan Public Speaking. Membuat
origami berbagai macam rupa dan bereksperimen dengan alam. Ah, tujuh
bulan di penempatan pun sampai tak terasa. Anak-anak SDN 10 Rambang kelas jauh
ini memang mengesankan, penuh kejutan!
Sebaik-baik manusia
adalah yang bermanfaat bagi sesama. Saya benar-benar menemukan makna dari
kebermanfaatan itu di sini, di Talang Airguci. Sebuah pemukiman kecil di dalam
hutan Sumatera Selatan yang penuh dengan nilai pembelajaran. Saya menemukan
betapa berartinya keberadaan kita di antara orang-orang yang membutuhkan.
Alhamdulillah,
terimakasih Ya Allah atas segala kesempatan.
Selamat! telah
melewati fase tujuh bulan, Pengajar Muda Delapan.
Semoga Allah selalu
memberkati kita dengan nikmat kesehatan dan senantiasa memberikan kemudahan.
Talang Airguci, 15 Januari 2015
Hanif Azhar, Pengajar Muda Kabupaten
Muara Enim
Note : tulisan ini juga dimuat di website resmi Indonesia Mengajar
Comments
Post a Comment