“Pak Haniiiiiiiiip .... Pak
Haniiiiiiiiip... Pak Haniiiiiiip” beberapa anak berteriak, kemudian
anak-anak lain yang berada di dalam kelas keluar berhamburan seperti serangga
beterbangan di sore hari. Mereka menyahutinya dengan kata serupa. “Pak
Haniiiiiip, Pak Haniiiiiiip, Pak Haniiiiiiip,”. Panggilan itu diiringi dengan lari-lari kecil
kegirangan di lapangan depan sekolah. Setelah itu mereka berebut membawakan tas
saya. Beberapa yang lain berebut menggandeng tangan saya. Semacam sebuah
kebanggan, kalau mereka bisa menjadi ajudan saya.
Itulah situasi pagi sebagai tanda masuk
di sekolah mungil ini.Bukan karena ngefans gurunya sih, tapi
memang bahkan bel masuk pun mereka tak punya. Dengan setia mereka menunggu saya
di depan sekolah sejak pukul 06.00 WIB, padahal waktu masuk masih pukul 07.30
WIB.
***
Pak Guru, sebutan yang cukup familiar
empat bulan terakhir. Pak Guru, sebutan hangat dari mulut-mulut mungil, yang
setia menyapaku setiap pagi. Mengintipku malu di balik jendela, berharap
balasan atas sapaan mereka. Pak Guru, oh Pak Guru, beban moral yang harus
kupikul. Pak Guru, digugu lan ditiru, sebuah tanggung jawab besar yang
tak pernah terlintas, dan saya harus
membiasakan diri dengan panggilan itu. Pak guru!
Tak terasa, empat bulan sudah saya belajar
sambil bermain dengan anak-anak SD N 10 Rambang di kelas jauh nan kecil. Iya,
kelas yang benar-benar jauh dan kecil. Sebuah gedung semipermanen beratapkan
seng seluas 6x9 m2 menjadi rumah kedua bagi 50 anak SDN 10 Rambang,
Talang Airguci. Ruang belajar itu dibagi menjadi tiga sekat triplek seadanya
dan ditempati oleh dua kelas sekaligus setiap sekatnya. SD tersebut hanya
diajar oleh tiga guru honorer dan satu tenaga kerja sukarela, Sang Pengajar
Muda.
Dapat dibayangkan, betapa tidak
kondusifnya ruang kelas kami. Masyarakat pun berinisiatif membangun kelas darurat untuk menampung
anak-anak. Sebuah gubuk sederhana beratapkan daun kelapa dan berdindingkan kayu
cabang pohon karet kering. Beralaskan daun kering, tanpa pintu dan jendela. Dan
yang paling menyenangkan adalah tidak ada anak yang naik meja, bangku sekolah,
keluar masuk lewat pagar atau jendela. Iya, karena kami memang tak punya!
Hahahaa
Gubuk
Kreativitas
Nah, di kelas super
darurat ini, kami biasa menyebutnya dengan gubuk kreativitas. Berbagai macam
eksperimen dan pembelajaran kreatif kami lakukan di sini. Termasuk kegiatan
lokakarya yang merupakan program dari Pengajar Muda angkatan VIII di Kabupaten
Muara Enim.
Origosystem, Belajar Kreatif Sains dan Sosial Dengan
Origami
Origosystem merupakan singkatan dari Origami-Ecosystem. Sebuah bentuk
pembelajaran kreatif untuk materi tematik Kelas 3. Meliputi pelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) tentang mengenal makhluk hidup, Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS) tentang lingkungan alam dan buatan, serta Seni Budaya dan Keterampilan
(SBK) tentang aplikasi seni rupa 3D. Origosystem juga mampu mengasah
keterampilan komunikasi dalam Bahasa Indonesia.
Pengenalan makhluk hidup (ilmu sains) dan
lingkungan alam serta buatan (ilmu sosial) kurang menarik apabila hanya melalui
buku teks. Materi seperti ini seharusnya divisualisasikan, baik melalui foto
maupun video. Peserta didik pun akan lebih mudah memahami apabila visualisasi
dikombinasikan dengan pengalaman langsung melalui praktikum.
Kali ini, saya mencoba dengan
mengkombinasikan berbagai macam bentuk origami dengan sistem kolase. Peserta
didik akan mengenal berbagai macam klasifikasi makhluk hidup, mulai manusia,
hewan, dan tumbuhan, dari aneka ragam bentuk origami. Mereka juga dapat belajar
ilmu sosial tentang lingkungan alam dan buatan dengan mengkombinasikan berbagai
macam origami untuk membentuk sebuah ekosistem. Belajar sains, sosial, dan
kesenian 3D dengan origosystem pun jadi asyik dan menyenangkan!
Melukis
Bersama Alam
Ini
adalah hasil penemuan mutakhir dari partner saya, Syamrotun Fuadiyah,
Pengajar Muda dari talang sebelah. Eksperimen ini diawali dari keadaan anak
didik yang tidak punya alat pewarna, padahal mereka sangat senang untuk
menggambar. Anak-anak di Talang Airguci, Kecamatan Rambang, memang punya bakat
alam kesenian.
Ibu
Diyah, begitulah kami memanggilnya,
mengajak anak-anak keluar kelas dan berkeliling hutan. Mereka berburu bunga
berbagai macam rupa dan warna. Berbagai warna dedaunan pun mereka dapatkan.
Beberapa bongkah arang, segenggam tanah kering, dan juga tanah liat. Mereka
kumpulkan dan karya pun siap untuk dibuat.
Anak-anak
memulai kreasinya dengan mencoretkan bongkahan arang ke kertas putih. Beberapa
mencoretkan di atas kardus bekas sebagai bahan dasar. Setelah terbentuk pola
dasar gambar, mereka mulai memilah bunga, daun, dan tanah sebagai pewarna.
Merah, kuning, hijau, jingga, ungu, biru, nila, semua ada! Ternyata alam begitu
kaya warna. Dengan dana Rp 0,- mereka berhasil membuat karya seni yang luar
biasa indah.
Jam
Matahari : Cara Asyik Membaca Waktu
Jam
Matahari adalah salah satu eksperimen andalan partner saya, Casim, dalam
lokakarya kali ini. Dia mengajak segenap guru dan siswa untuk berlatih membaca
waktu dengan cara yang menyenangkan, yaitu dengan memanfaatkan bayang-bayang
sebuah benda dengan pencahayaan matahari. Dengan sudut yang tepat, bayangan itu
dapat menunjukkan waktu dengan jitu.
Alat
dan bahannya cukup sederhana. Hanya bermodal kertas, penggaris lingkaran, kayu
kering, dan paku. Anak-anak berkreasi membuat jam matahari di depan gubuk
kreativitas, di bawah terik matahari siang. Panas pun mereka abaikan. Dan
betapa senangnya anak-anak ketika jam mataharinya siap diamati.
Senam
Dangdut Poco-poco Ala Pak Janu
Januar
Ikhsan, salah satu partner saya di Muara Enim memang sangat ahli dalam kreasi
seni gerak dan olahraga. Ia memperkenalkan tari poco-poco kreasi baru kepada
anak-anak di Talang Airguci. Dapat dibayangkan betapa serunya senam poco-poco
dengan lagu dangdut. Suasana semakin hangat dan berkeringat! Dalam waktu
sekejap, Pak Janu pun menjadi idola anak-anak. Pak Janu, U rocks!
Metode
Calistung dengan Menyanyi dan Menari
Ibu
Winda dan Ibu Shofa, duet maut mengajarkan baca-tulis-hitung (calistung) untuk
anak-anak kelas 1 dan 2. Berbagai macam nyanyian dan tarian mereka ajarkan.
Dengan riang gembira, semua anak menirukan gerakan tubuh Ibu Winda dan nyanyian
Ibu Shofa.
***
The power of kepepet
Kreativitas manusia akan melesat kalau terdesak
Kami belajar bahwa keterbatasan bukanlah alasan
Iya, Semua potensi akan keluar dalam keadaan
titik nol, kawan
Teringat sebuah pesan pengabdian...
Tunjuk satu titik dimanapun di atas peta
Indonesia...
Setiap
anak dimanapun disana berhak mendapatkan pendidikan yang layak...
Di
sanalah lahan-lahan pengabdian bagi Pengajar Muda terhampar...
Pengajar
Muda, selamat menikmati petualangan di kelas-kelas kecil kalian..
Salam,
Keluarga Besar Gerakan Indonesia Mengajar.
Comments
Post a Comment